Senin, 07 November 2016

Cerpen: Balita Bertunangan



Cerpen: Balita Bertunangan
Cerpen : Balita Bertunangan
Terlihat dua balita sedang senda-gurau di halaman depan rumah dengan ditemani orang tuanya. Mereka berdua berjumpa saat berlibur bersama keluarga di pantai dua bulan yang lalu. Lalu, mereka saling kenal. Mereka itu adalah Abi dan Anisa. Mereka menikmati hari libur. Orang tua Anisa pun sepertinya merelakan bila mereka berduaan. Lagi pula, Anisa sempat sakit bila tak dipertemukan dengan Abi.
“Assalamu’alaikum, Nisa. Main yuuuuk?” teman Anisa, Laras, mengajak bermain.
“Yuk, Niiis,” Pinta satu temannya lagi, Nabila.
“Gak, aaah. Lagi main, sama Abi. Aku gak mauuu, pisah sama Abi.”
“Ih, kok gitu sih,” kata Laras dengan nada kecewa.
“Ya udah. Abi, ikut main aja ya...,” Nabila memberi solusi.
“Gak ah, aku juga pengin sama Anisa aja,” Abi mendukung Anisa.
Raut muka Laras dan Nabila menunjukkan kekecewaan. Tapi rasa kecewa anak kecil yang baru berumur tiga tahunan tak seperti rasa kecewa anak remaja atau orang dewasa. Mereka berdua tetap tunjukkan sebuah sikap lugu--tak mengerti kalau Abi dan Anisa sedang jatuh cinta.
“Maaf ya Nak, hari ini kalian main berdua saja. Biar Abi dan Anisa bermain sama Tante dan Om.”
“Nanti lagi ya?”
“Baik Tante, Om,” Laras menyetujuinya.
Lantas mereka pergi dan tak memikirkan sesuatu yang telah terjadi.
Abi dan Anisa pun berlanjut kembali dalam senda-guraunya. Mereka berdua bahagia bila hari-harinya selalu dalam jumpa. Mereka asik bermain tanpa ikut campur teman yang lain. keegoisan anak kecil pun sangat tampak sekali. Mereka tak memperdulikan kehadiran kawan. Bagi mereka, rasa kepedulian hanya untuk yang dicintainya.
“Tante, tunangan itu apa? Aku lupa,” pertanyaan Abi sedikit membebankan hati Ibu Naila.
“Biar kebersamaan kalian disetujui,” Ibu Naila mencoba memberi jawaban.
“Asiiiik.”
***
Ada pertentangan di dalam keluarga Pak Latif.
"Abah, ini aib. Lihat, Bah! Mereka masih anak kecil! Masih balita. Itu menyalahi aturan!”
Anida baru datang ke rumah kemarin, dari Bandung. Sejak mengetahui berita itu, Anida protes melihat adiknya akan tunangan.
“Kamu jangan ngotot bicara sama orang tua,” ibu Fatma menasehati.
“Kau mengerti tidak? Tidak ada batasan untuk menikah! Kau jangan menentang agama! Ini hasilmu kuliah jurusan Filsafat?!” Pak Latif merasa geram atas sikap anaknya.
Rencana pertunangan Abi dengan anak semata wayang Pak Amid, Anisa, berakibat datang suatu konfik di keluarga Pak Latif. Anida marah besar atas sikap orang tua. Anida tidak setuju dengan pertunangan itu. Tapi, orang tua justru menganggap tunangan ini adalah jalan terbaik untuk anak mereka.
Seketika, mereka saling bungkan suara. Ruangan sunyi. Tak ada kobar api. Hanya api di dada yang tertahan. Ruang tengah rumah, yang dijadikan kumpul bersama untuk menghangatkan suasana, kini tak terindahkan lagi.
“Apa kau mau adikmu selalu sakit?” Kau pernah jatuh cinta, bukan? Pak Latif membuka suara.
“Pernah. Tapi Abah melarangku untuk pacaran! Alasannya mendekati zinalah, ganggu belajarlah.”
“Ini masalahnya beda. Adikmu masih kecil. Belum mengerti cinta. Kita pun pasti menjaga bila mereka saling bertemu. Bila adikmu sudah umur lima belas, kami pun menikahkan mereka berdua. Tidak seperti kau yang sudah mengerti cinta nafsu!”
“Apa? Sekecil itu mereka menikah?!”
“Lagi pula, Ibu sudah bersumpah, bila nanti Abi sembuh dari sakit, kami akan mengikat tali pertunangan Abi dengan anak gadis itu. Dan bila sudah umur lima belas, kami akan menikahi mereka berdua, kalau mereka masih berhubungan.”
“Apa alasannya sampai bersumpah?! Itu sumpah maksiat!” Anida semakin kecewa.
“Plak. Plak. Plak.”
Ibunya menampar Anida. “Jaga mulutmu!”
Sambil tangis tersedu-sedu, Anida mengomentari perkataan orang tuanya. Ia katakan, kalau orang tuanya telah mendidik dewasa secara berlebihan; mendidik agar menjadi dewasa sebelum waktunya. Pertunangan atau pernikahan pun akan terlihat permainan belaka, karena tidak ada kematangan dari Abi dan Anisa dari segi fisik juga psikis.
“Cukup!” tangan ibunya bersiap menampar.
Tetap saja Anida tak menghiraukan. Ia menjelaskan bahwa beban orang dewasa akan menindih jiwa-raga Abi dan Anisa. Teman-temannya pun akan mengejek karena mereka telah menjadi suami-istri kecil. Kalau pun mereka mendukung, maka teman-temannya akan berniat meniru untuk menjadi pengantin kecil.
“Tunangan saja beban buat mereka!” kata Anida.
Anida pergi ke kamarnya. Hari Minggu berkobar api, tapi tak ada yang memadamkan. Anida menangis sembari meremas-remas bantal penuh kemarahan. Hatinya teriris, sakit, akibat tamparan ibunya. Juga, Anida terbesit rasa cemburu di hatinya.
“Ini tidak adil! Apa maksudnya? Orang pandai agama seenaknya beralasan. Saat dikomentari dakwahnya, malah dianggap menentang!”
“Anida! keluar!” Ayahnya mendengar ucapan Anida, lalu menyuruhnya keluar. Tapi Anida diam saja.
Ketika siang menjelang, tak sepengetahuan orang tuanya, Anida keluar rumah sembari membawa barang-barangnya. Rencana Anida yang ingin berlibur selama seminggu--menikmati minggu tenang dalam perkuliahan-- ia urungkan niatnya. Ia teringat kisah dirinya yang dilarang pacaran sama orang tua di saat Anida dan kekasihnya saling mencintai. Betapa sakit hati yang dirasakan oleh Anida dan kekasihnya itu.
Orang tua panik.
Mana Anida? Ini sudah larut malam?” Pak Latif mencarinya tapi tidak ada.
Saya tak tahu! Saya sudah menghubungi Anida tapi gak diangkat. Saya sudah menghubungi ke semuanya.
“Keterlaluan! Mau dia apa sih?!” Pak Latif marah besar.
Malam hari, hati mereka diselimuti kecemasan. Mereka tak mengetahui kalau Anida telah pergi lagi ke Bandung.
Sedangkan dalam kamar lain, terlihat, Abi juga sedang dalam kecemasan. Apalagi membayang hari esok yang sangat dinantinya. Ia cemas memikirkan Anisa bila malam datang. Memang, Abi dan Anisa tidak diperbolehkan berhubungan di waktu malam. Segala macam pikiran buruk selalu mengganggu malamnya bak remaja atau orang dewasa yang sedang jatuh cinta. Padahal Abi masih belum mengerti bahwa arti semua ini adalah pertanda telah jatuh cinta. Pagi tiba.
“Ummi, sini Ummi! Ya Allaaah, Nak. Ummiii!”
“Ya Abah, ada apa?” Jangan bentak-bentak gitu! Saya mendengarnya.”
“Lihat e-mail. Baca!”
Segera Ibu Fatma membacanya, “Ada seorang pemuda yang sekarang menyukaiku, Ummi, Abah. Awalnya, aku tidak mau menerima tawaran untuk pacaran. Kalau pun aku membangkang perintah sekalipun, tetap tidak mau menerima tawaran dia. Lelaki itu berlainan agama. Ia beragama Kristen. Tapi, sekarang aku menerimanya. Aku ingin mencoba mencintainya. Malam Natal nanti aku akan ikut merayakan acara Natal, sekedar menghormati nabiku, Isa A.S.
“Ya Allah, Anida kau sungguh menyakiti hati orang tua. Kenapa dia jadi begini, Bah?”
Ibu Fatma belum tuntas membacanya. Lalu, Pak Latif menjelaskan tentang alasan anaknya berbuat seperti itu. Anida begitu karena tidak diperlakukan adil oleh orang tuanya. Anida sangat kecewa mendengar rencana pertunangan Abi dan Anisa yang akan dilakukan nanti siang. Dahulu, waktu masih SMA, Anida tak dibolehkan untuk menikmati masa pacaran dengan lelaki yang dicintainya. Orang tua Anida memang terpandang sebagai orang yang dianggap tokoh agama sehingga pantangan untuk anaknya mengikat tali percintaan yang tak resmi. Tapi sekarang, Abi yang baru berumur lima tahun, malah akan diresmikan cintanya dengan pertunangan. Tak pantas anak sekecil itu mengikat tali pertunangan, kata Anida. Tapi, orang tua tak menanggapi. Sehingga Anida nekad melanggar perintah, dan malah lebih parah dari sebelumnya.
“Anida pacaran dengan lelaki beda agama, Abah! Bagaimana ini?”
Pak Latif diam. Ia pun bingung apa yang harus dilakukannya.
“Apa kita batalkan acara pertunangan itu?” Ibu Fatma berubah pikiran.
Pak Latif tetap diam.
Kriiiing. Kriiiing. Kriiiing.
Telepon berbunyi. Segera Ibu Fatma mengangkat teleponnya.
Assalamu’alaikum,” Ibu Fatma menyambut.
“Wa’alaikumusalam. Bu, tadi Anida telepon. Dia mengucapkan selamat atas acara pertunangannya, Bu. Lho, bukannya nanti siang acara tunangan? Terus, kenapa dia pergi lagi ke Bandung? Dia ada kesibukan ya, Bu?” kata istri Pak Amid, Ibu Naila. Ia merasa heran tentang ucapan Anida.
Ibu Fatma hanya menitikkan air mata. Hatinya tersayat akibat berita dari Anida. Ia tak bisa berbicara apa-apa. Berkali-kali Ibu Naila memanggil- manggil, tetapi tidak ada tanggapan sama sekali darinya. Berkali-kali pula ia usapkan air mata.
“Bu Fatma memangis?”
“Maaf, Bu. Saya sangat bahagia sampai tak bisa bicara. Anakku memang ada kesibukan. Maaf ya Bu, nanti siang kita bicarakan.”
Ibu Fatma terpaksa bicara bohong. Ia belum siap bicara yang sebenarnya.
***
Waktu telah memanggil dua keluarga untuk berkumpul. Perayaan tidak terlihat meriah. Hanya keluarga Pak Latif dengan satu anaknya dan keluarga Pak Amid yang memang hanya mempunyai satu anak. Tak tampak hadirnya keluarga lain. Mereka pada dasarnya mengerti, kalau acara tunangan ini suatu hal yang tak etis. Hanya saja ketidaketisan itu dilihat dari kaca mata adat. Acara pertunangan pun sekedar menjalani sumpah Ibu Fatma. Mereka mengetahui, cinta anak kecil tidaklah begitu serius. Hubungan akan berakhir seiring kedewasaan mereka.
Hari Senin yang merupakan hari kerja untuk kedua ayah, demi melihat anaknya tunangan, mereka meliburkan diri satu hari. Lagi pula, hari Senin merupakan hari ulang tahun Anisa yang ke empat. Tentunya, acara tunangan lebih dipilih di hari Senin.
Mereka pun bernyanyi tembang selamat ulang tahun. Lalu, lilin pun ditiupkannya oleh Anisa sebagai pertanda selesainya acara ulang tahun. Potong kue dilakukan orang tua Anisa. Anisa pun memberikankan potongan kue itu ke Abi. Ibunya Anisa bahagia, sedangkan ibunya Abi menitikkan air kesedihan. Dua pemandangan yang berbeda melihat tingkah dua balita yang dilanda cinta.
“Bu, silahkan acara tunangan dipimpin keluarga Pak Latif.”
Ibu Fatma menangis tersedu-sedu. Berkali-kali ia usapkan air mata dengan tisu. Ia berusaha menahan tangis walau sebentar saja, sekedar untuk bicara. Pak Latif pun menyetujui.
“Ummi, kenapa menangis?”
“Ummi kamu karena bahagia melihatmu, Nak.”
“Begitu ya Tante?”
Lalu Pak Latif berbicara dengan maksud untuk mengikat hubungan antara Abi dengan Anisa dalam ikatan pertunangan. Pak Latif menjelaskan kalau hubungan ini tidak harus ditanggapi dengan serius, mengingat yang bertunangan adalah dua balita yang belum mengerti tentang dunia percintaan. Hanya saja, pertunangan ini sekedar wujud rasa kasihan saja terhadap kedua balita yang sering sakit-sakitan akibat tidak bisa berjumpa. Dan juga, sekaligus untuk menjalani sumpah Ibu Fatma.
“Mari, Nak. Om mau ngasih cincin.”
“Baik, Om. Tapi, Abi yang masukkin cincinnya ya, Om?”
Lalu Abi memasukkan cincin di jari lentik Anisa. Begitu pula Anisa, ia memasukkan cincin untuk Abi di jari lentiknya. Akhirnya sambutan tepuk tangan serasa memeriahkan suasana.
Sambutan tangisan Ibu Fatma tak kalah dengan tepuk tangan itu. Lantas Ibu Fatma bergegas pergi sambil mengajak Ibu Naila. Mereka menuju ruangan dapur. Kedua anak mereka pun bertanya-tanya, lantas seketika sirna, terbawa hanyut pada rasa bahagia mereka.
Bu, maafin saya yang tadi pagi. Saya sempat berbohong sama Ibu Naila, hik,hik.”
Ada apa, Bu. Ada apa? Kenapa Ibu sangat sedih? Tolong katakan yang sejujurnya.”
Lalu, Ibu Fatma mencoba menjelaskan walau dengan penuh rintihan tangis, deraian air mata. Ibu Fatma menjelaskan konflik yang telah terjadi akibat acara pertunangan ini. Ia menjelaskan tentang anaknya--Anida-- yang tak setuju tentang pertunangan ini. Anida merasa cemburu dan sakit hati akibat acara tunangan adiknya.
“....Dan sekarang dia pacaran dengan lelaki yang berbeda agama!”
“Masa Allah. Yang tabah. Saya ikut prihatin atas masalah ini. Lebih baik kita tidak usah mengistimewakan tentang pertunangan mereka.”
Maafin saya yang telah bersumpah tanpa sepengetahuan Ibu.
“Sudahlah. Bu, nanti bicaralah sama Anida, ya?”

Share:

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar

VIEWERS

368,523

Text Widget

Recent Posts

BTemplates.com