Cerpen: Berjalan Menjalani
Panjang jalan di depan membentang dihamparan masa
depan. Panjang jalan di belakang, kisah lalu dalam lembaran sejarah untuk dasar
melangkah.
Aku jejaki panjang jalan yang kisahnya masih menunggu kehadiranku.
Meneruskan jalan panjang kisah lalu, karena aku adalah anak sejarah.
Melewati masa kini, dan aku tinggal pergi. Aku kejar masa depan bersama perjalanan waktu.
Kini kaki terus melangkah. Tak henti walau pandangan berat, terbebani.
Juangnya adalah harap impian tercapai. Langkah yang panjang harus terbekali ketekunan dan kesabaran. Melewati sekumpulan manusia yang turun-naik dari kendaraan angkutan umum. Mendapati sekawan lama yang terlahir sebagai manusia. Ia adalah sekawan satu masa denganku. Aku sapa ia.
“Hai, pergi?”
“Hai juga. Iya. Kau pulang?”
“Iya, Pulang.”
Terlewatkan. Aku lewatkan karena perjalananku sendiri yang terasa individu. Sangat individu. Impian pun berbeda. Perjalanan sejatinya niat keindividuan kita untuk menjalani kehidupan.
Aku pandang. Berjejeran pedagang. Bertempat di kios-kios. Terlihat laris.
Laris manis. Untung walau tak melimpah. Ada pula yang tak laris. Betapa kehidupan yang berjalan dan berjalannya kehidupan adalah seucap kata “uang”.
Pedagang yang berjejer adalah buktinya nyata, mereka butuh “uang”.
Sampai duduk mematung, menunggu pelanggan atau pembeli baru sampai larut malam, buktinya nyata mereka butuh uang. Mereka tak lagi memandang ilmu apa yang di dapat. Mereka lebih memandang “seberapa mampu mendapat uang?” Sungguh mereka senang bila keuntungan melimpah ruah. Tapi ini hanya pedagang kecil? Kemampuan pun kecil.
Mungkinkah?
Berjuang. Terus berjalan penuh perjuangan. Hidup bukanlah perjuangan belaka. Hidup adalah perjalanan jiwa dan raga yang di dalamnya terselip perjuangan yang akan tetap mampu menggerakkan jiwa dan raga. Sehingga keberhasilan dalam perjalanan adalah kebahagiaan tiada tara. Mengingat perjuangan menggapainya yang bersusah-susah, berlelah-lelah, tersedih- sedih.
Menjumpai dan melewati. Terus menjumpai dan terus melewati setiap kisah kehidupan. Kini kaki hinggap pada pemandangan sekolah. Terdapat sekumpulan siswa korban aturan kedisiplinan. Di luar sekolah berkumpul para pelajar malas atau bernasib sial. Menunggu di luar sekolah sembari sebatang rokok terhisap oleh banyak siswa seakan inilah “kedewasaan sejati”―dan pedagang pun diam tak punya urusan. Terlihat, seorang siswi dalam kegiatan berhias diri, melihat cermin tak henti seakan inilah “penampilan sejati”. Terlihat sepasang pelajar memadu kasih. Potret pendidikan warisan pendahulunya masih melekat membudaya.
“Ah... aku jadi teringat di masa SMA. Dan teringat selalu di waktu itu. Ingatanku masih pulih. Mungkin karena sekolah selalu mendidik pada kegiatan menghafal.”
Lalu perjalanan kaki membuatku menutup kembali kisahku yang dulu. Aku beralih pandang menatap kisah kehidupan yang lain. Ia hampir menyikut perjalanan kehidupanku. Aku terkejut. kaget. Ketakutan. Biar aku takut! Inilah kemanusiaan.
“Dasar pengguna jalan yang tak beraturan! Peraturan lalu lintas hanya kisah lalu! Bedebah kau!” aku geram.
Aku rekam kejadian itu. Itu kejadian buruk untukku. Aku jadikan sebagai pelajaran. Kembali aku lanjutkan. Lelah. Lelah dalam hidupku. Betapa kehidupan adalah perjalanan yang melelahkan. Jenuh. Apalagi di tambah ulah usil manusia yang tak beraturan. Makan hati. Lelah jiwa dan ragaku.
Aku pelankan langkah. Langkah dalam pelan. Menenangkan keadaan dalam perjalanan hidupku. “Ada yang mau bantu aku?” Tapi semua diam. Tak ada yang menanggapi. Tapi karena memang aku hanya diam. Tak meminta belas kasihan. Sehingga semua itu harus berawal dari seucap mulut.
“Tapi aku berikan bahasa isyarat pada orang-orang yang melewati perjalananku. Aku dalam lunglai, lelah. Mengapa mereka tak membaca isyarat bahasa tubuhku? Ah, mereka sudah tak peka dalam kehidupan kesosialannya. Mengapa harus berawal dari seucap mulut? Ah, Sudah lah,” gumamku.
Aku tetapkan tekad berjalan walau dalam lelah. Berjalan untuk menjalani kehidupan. Karena kita tidak akan hidup bila tak ada perjalanan. Bahkan setelah mati pun kita menempuh perjalanan baru yang melelahkan untuk menjalani kehidupan akhirat.
Jarak sudah makin menjauh dari belakang jalan. Aku telusuri tiap-tiap rumah.
Sengaja melihat salah satu seindah rumah. Rumah tokoh masyarakat.
Terkejut! Aku terkejut menatap dalam kesadaran. Memang aku terbiasa melewati pemandangan rumah ini. Tapi ini terkejut! Tak seperti biasa. Ini hal yang luar biasa. Entah jalur resmi atau jalur asal jadi. Ia memanjakan dua kekasih diteriknya matahari. Menjalani kehidupan rumah tangga dengan dua istri. Panas bertambah panas dalam hati. Entah lah. Yang jelas dua istri itu tunjukkan wajah tertawa. Mungkin terselip cemburu yang tertahan, tak terungkapkan. Entahlah. Yang jelas aku yang panas, cemburu. Kekasih satu pun tak ada di sampingku. Sehingga aku tetap berjalan dengan kesendirian. Tak apa lah.
Haus. Lapar. Mereka menyerang tubuhku. Tak ada kata menunggu. Tapi tubuhku harus menunggu. Perjalanan masih lah jauh. Lumayan perjalanan dalam kejauhan. Keringat di punggung pun belum sempat aku keringkan.
Tunggulah tenggorokan, tunggulah perut. Kalian akan segera terisi. Karena aku mengerti. kehidupan adalah rutinitas makanan dan minuman.
Perjalanan menatap keramayan. Pertunjukkan? Bukan. Kegiatan tradisi. tradisi tujuh bulanan. Ia, itu benar. Tradisi tujuh bulanan hasil kolaborasi yang entah bagaimana asal mulanya. Selametan untuk si cabang bayi yang sudah menjalani kehidupan di ruang rahim selama tujuh bulan. Terlihat si ibu cabang bayi bermandikan air bunga. Bercampur dengan air tujuh sumur yang terpilih. Bercampur pula dengan bunga tujuh rupa. Entah bunga apa saja. Sembari diiringi puji-pujian, solawatan yang dilakukan para ibu-ibu.
Disambut anak-anak, remaja, orang tua dan dari segala umur untuk meraup uang receh yang bertaburan.
Huft... teringat waktu aku masih kecil. Tapi sekarang sudah dewasa. Sudah menjadi mahasiswa. Memiliki malu pula. Karena mahasiswa sudah di cap sebagai orang kritis. Padahal aku tidak. Tak henti-henti omongan orang dewasa yang berstatus mahasiswa melontarkan kritik pada tradisi hasil kolaborasi. Tapi aku tak menghiraukan. Aku malas membalas kritik. Yang penting, suasana hati meriah bahagia karena tradisi. Seakan ingin kembali ke masa kecil. Menjalani tradisi nusantara dengan polos dan lucu.
Pemandangan meriah. Berubah. Entah cerita ini telah diatur sedemikian rupa atau memang tak disengaja. Yang jelas terlihat dua remaja berkelahi. Yang satu dari anak priayi yang satu lagi dari anak santri. Suatu pemandangan yang tak adil. Tak ada kuasa membalas bagi anak santri. Tapi bertubi-tubi anak priayi menghabisi. Akankah sampai terbawa-bawa tingkat derajat?
Sehingga yang berderajat rendah mengalah, kalah. Ataukah karena ia tak berani? Ia seorang diri. Takut terancam di kemudian hari. Tapi yang jelas beberapa pemuda langsung memisahkan. Hanya cucuran darah anak santri yang masih berjalan melewati tiap pori-pori.
Mengerikan. Lupakan. Tak penting. Perjalanan semakin mendekati masa akhir. Tapi kini melewati tempat manusia yang terpendam dalam tanah.
Karena mati. Tentu. Bukan karena hidup. Aku berjalan sendiri. Suasana
kembali sunyi. Tapi aku menikmati suasana ini. Memang tempat orang mati pantas dijadikan perenungan diri. Akan seperti apa kita nanti?
Aku teringat Ayah. Ia meninggalkan perjalanan kehidupan bersamaku, bersama satu adikku, dua kakakku, pula meninggalkan perjalanan kehidupan bersama ibu tercinta... Waktu itu aku masih SMA. Aku berikan seucap salam untuk ahli kubur ini, pula kirimkan doa untuk ayah. Biarlah pengiriman doa untuk orang lain di lain waktu saja. Aku sedih. Tapi harus hilangkan sedih segera! Ya, Betul! Aku harus tegar!
Dekat kuburan, sebelahnya terdapat gundukan sampah. Bau menyengat. Aku merasa terganggu. Suasana tenang, nyaman seakan kini terusik.
Sampah! Dasar sampah! Masyarakat sering kali menjalani kegiatan menyampah ke tempat ini. Entah sudah berapa kali masyarakat mengulang- ulang perbuatannya. Sampai kini, gundukan sampah makin menggunung tak terurus. Ini telah menjadi sampah masyarakat. Dan aku membandingkan sekumpulan manusia mati dan sekumpulan sampah. Aku pun tertawa geli dalam hati, “Hahahahaha...” Mungkin sama. Perbedaannya hanya pada jiwanya. Tapi, bila jiwa seperti sampah, bagaimanakah? Entah lah. Pemandangan kerinduan terlihat. Akhirnya impianku tercapai. Masuk istana keluarga.
Aku makin merasakan siksa dari tema tentang “haus dan lapar”. Aku segera masuk. Aku segera membereskan keadaan yang masih berbau dunia perkuliahan. Segera aku menjalani bekal diri untuk menyambut peristirahatanku. Agar dunia impian nampak indah.
Kini aku semakin merasakan tak kuat dalam kesadaran. Aku rebahkan tubuhku. Pelan tapi pasti aku tak sadarkan diri dari kehidupan dunia. Aku pergi ke dalam kehidupan lain. Nampak begitu berbeda. Dan dalam kehidupan baru, aku tetap bisa menjalani perjalanan kehidupan dengan baik karena terbekali makanan dan minuman.
Aku jejaki panjang jalan yang kisahnya masih menunggu kehadiranku.
Meneruskan jalan panjang kisah lalu, karena aku adalah anak sejarah.
Melewati masa kini, dan aku tinggal pergi. Aku kejar masa depan bersama perjalanan waktu.
Kini kaki terus melangkah. Tak henti walau pandangan berat, terbebani.
Juangnya adalah harap impian tercapai. Langkah yang panjang harus terbekali ketekunan dan kesabaran. Melewati sekumpulan manusia yang turun-naik dari kendaraan angkutan umum. Mendapati sekawan lama yang terlahir sebagai manusia. Ia adalah sekawan satu masa denganku. Aku sapa ia.
“Hai, pergi?”
“Hai juga. Iya. Kau pulang?”
“Iya, Pulang.”
Terlewatkan. Aku lewatkan karena perjalananku sendiri yang terasa individu. Sangat individu. Impian pun berbeda. Perjalanan sejatinya niat keindividuan kita untuk menjalani kehidupan.
Aku pandang. Berjejeran pedagang. Bertempat di kios-kios. Terlihat laris.
Laris manis. Untung walau tak melimpah. Ada pula yang tak laris. Betapa kehidupan yang berjalan dan berjalannya kehidupan adalah seucap kata “uang”.
Pedagang yang berjejer adalah buktinya nyata, mereka butuh “uang”.
Sampai duduk mematung, menunggu pelanggan atau pembeli baru sampai larut malam, buktinya nyata mereka butuh uang. Mereka tak lagi memandang ilmu apa yang di dapat. Mereka lebih memandang “seberapa mampu mendapat uang?” Sungguh mereka senang bila keuntungan melimpah ruah. Tapi ini hanya pedagang kecil? Kemampuan pun kecil.
Mungkinkah?
Berjuang. Terus berjalan penuh perjuangan. Hidup bukanlah perjuangan belaka. Hidup adalah perjalanan jiwa dan raga yang di dalamnya terselip perjuangan yang akan tetap mampu menggerakkan jiwa dan raga. Sehingga keberhasilan dalam perjalanan adalah kebahagiaan tiada tara. Mengingat perjuangan menggapainya yang bersusah-susah, berlelah-lelah, tersedih- sedih.
Menjumpai dan melewati. Terus menjumpai dan terus melewati setiap kisah kehidupan. Kini kaki hinggap pada pemandangan sekolah. Terdapat sekumpulan siswa korban aturan kedisiplinan. Di luar sekolah berkumpul para pelajar malas atau bernasib sial. Menunggu di luar sekolah sembari sebatang rokok terhisap oleh banyak siswa seakan inilah “kedewasaan sejati”―dan pedagang pun diam tak punya urusan. Terlihat, seorang siswi dalam kegiatan berhias diri, melihat cermin tak henti seakan inilah “penampilan sejati”. Terlihat sepasang pelajar memadu kasih. Potret pendidikan warisan pendahulunya masih melekat membudaya.
“Ah... aku jadi teringat di masa SMA. Dan teringat selalu di waktu itu. Ingatanku masih pulih. Mungkin karena sekolah selalu mendidik pada kegiatan menghafal.”
Lalu perjalanan kaki membuatku menutup kembali kisahku yang dulu. Aku beralih pandang menatap kisah kehidupan yang lain. Ia hampir menyikut perjalanan kehidupanku. Aku terkejut. kaget. Ketakutan. Biar aku takut! Inilah kemanusiaan.
“Dasar pengguna jalan yang tak beraturan! Peraturan lalu lintas hanya kisah lalu! Bedebah kau!” aku geram.
Aku rekam kejadian itu. Itu kejadian buruk untukku. Aku jadikan sebagai pelajaran. Kembali aku lanjutkan. Lelah. Lelah dalam hidupku. Betapa kehidupan adalah perjalanan yang melelahkan. Jenuh. Apalagi di tambah ulah usil manusia yang tak beraturan. Makan hati. Lelah jiwa dan ragaku.
Aku pelankan langkah. Langkah dalam pelan. Menenangkan keadaan dalam perjalanan hidupku. “Ada yang mau bantu aku?” Tapi semua diam. Tak ada yang menanggapi. Tapi karena memang aku hanya diam. Tak meminta belas kasihan. Sehingga semua itu harus berawal dari seucap mulut.
“Tapi aku berikan bahasa isyarat pada orang-orang yang melewati perjalananku. Aku dalam lunglai, lelah. Mengapa mereka tak membaca isyarat bahasa tubuhku? Ah, mereka sudah tak peka dalam kehidupan kesosialannya. Mengapa harus berawal dari seucap mulut? Ah, Sudah lah,” gumamku.
Aku tetapkan tekad berjalan walau dalam lelah. Berjalan untuk menjalani kehidupan. Karena kita tidak akan hidup bila tak ada perjalanan. Bahkan setelah mati pun kita menempuh perjalanan baru yang melelahkan untuk menjalani kehidupan akhirat.
Jarak sudah makin menjauh dari belakang jalan. Aku telusuri tiap-tiap rumah.
Sengaja melihat salah satu seindah rumah. Rumah tokoh masyarakat.
Terkejut! Aku terkejut menatap dalam kesadaran. Memang aku terbiasa melewati pemandangan rumah ini. Tapi ini terkejut! Tak seperti biasa. Ini hal yang luar biasa. Entah jalur resmi atau jalur asal jadi. Ia memanjakan dua kekasih diteriknya matahari. Menjalani kehidupan rumah tangga dengan dua istri. Panas bertambah panas dalam hati. Entah lah. Yang jelas dua istri itu tunjukkan wajah tertawa. Mungkin terselip cemburu yang tertahan, tak terungkapkan. Entahlah. Yang jelas aku yang panas, cemburu. Kekasih satu pun tak ada di sampingku. Sehingga aku tetap berjalan dengan kesendirian. Tak apa lah.
Haus. Lapar. Mereka menyerang tubuhku. Tak ada kata menunggu. Tapi tubuhku harus menunggu. Perjalanan masih lah jauh. Lumayan perjalanan dalam kejauhan. Keringat di punggung pun belum sempat aku keringkan.
Tunggulah tenggorokan, tunggulah perut. Kalian akan segera terisi. Karena aku mengerti. kehidupan adalah rutinitas makanan dan minuman.
Perjalanan menatap keramayan. Pertunjukkan? Bukan. Kegiatan tradisi. tradisi tujuh bulanan. Ia, itu benar. Tradisi tujuh bulanan hasil kolaborasi yang entah bagaimana asal mulanya. Selametan untuk si cabang bayi yang sudah menjalani kehidupan di ruang rahim selama tujuh bulan. Terlihat si ibu cabang bayi bermandikan air bunga. Bercampur dengan air tujuh sumur yang terpilih. Bercampur pula dengan bunga tujuh rupa. Entah bunga apa saja. Sembari diiringi puji-pujian, solawatan yang dilakukan para ibu-ibu.
Disambut anak-anak, remaja, orang tua dan dari segala umur untuk meraup uang receh yang bertaburan.
Huft... teringat waktu aku masih kecil. Tapi sekarang sudah dewasa. Sudah menjadi mahasiswa. Memiliki malu pula. Karena mahasiswa sudah di cap sebagai orang kritis. Padahal aku tidak. Tak henti-henti omongan orang dewasa yang berstatus mahasiswa melontarkan kritik pada tradisi hasil kolaborasi. Tapi aku tak menghiraukan. Aku malas membalas kritik. Yang penting, suasana hati meriah bahagia karena tradisi. Seakan ingin kembali ke masa kecil. Menjalani tradisi nusantara dengan polos dan lucu.
Pemandangan meriah. Berubah. Entah cerita ini telah diatur sedemikian rupa atau memang tak disengaja. Yang jelas terlihat dua remaja berkelahi. Yang satu dari anak priayi yang satu lagi dari anak santri. Suatu pemandangan yang tak adil. Tak ada kuasa membalas bagi anak santri. Tapi bertubi-tubi anak priayi menghabisi. Akankah sampai terbawa-bawa tingkat derajat?
Sehingga yang berderajat rendah mengalah, kalah. Ataukah karena ia tak berani? Ia seorang diri. Takut terancam di kemudian hari. Tapi yang jelas beberapa pemuda langsung memisahkan. Hanya cucuran darah anak santri yang masih berjalan melewati tiap pori-pori.
Mengerikan. Lupakan. Tak penting. Perjalanan semakin mendekati masa akhir. Tapi kini melewati tempat manusia yang terpendam dalam tanah.
Karena mati. Tentu. Bukan karena hidup. Aku berjalan sendiri. Suasana
kembali sunyi. Tapi aku menikmati suasana ini. Memang tempat orang mati pantas dijadikan perenungan diri. Akan seperti apa kita nanti?
Aku teringat Ayah. Ia meninggalkan perjalanan kehidupan bersamaku, bersama satu adikku, dua kakakku, pula meninggalkan perjalanan kehidupan bersama ibu tercinta... Waktu itu aku masih SMA. Aku berikan seucap salam untuk ahli kubur ini, pula kirimkan doa untuk ayah. Biarlah pengiriman doa untuk orang lain di lain waktu saja. Aku sedih. Tapi harus hilangkan sedih segera! Ya, Betul! Aku harus tegar!
Dekat kuburan, sebelahnya terdapat gundukan sampah. Bau menyengat. Aku merasa terganggu. Suasana tenang, nyaman seakan kini terusik.
Sampah! Dasar sampah! Masyarakat sering kali menjalani kegiatan menyampah ke tempat ini. Entah sudah berapa kali masyarakat mengulang- ulang perbuatannya. Sampai kini, gundukan sampah makin menggunung tak terurus. Ini telah menjadi sampah masyarakat. Dan aku membandingkan sekumpulan manusia mati dan sekumpulan sampah. Aku pun tertawa geli dalam hati, “Hahahahaha...” Mungkin sama. Perbedaannya hanya pada jiwanya. Tapi, bila jiwa seperti sampah, bagaimanakah? Entah lah. Pemandangan kerinduan terlihat. Akhirnya impianku tercapai. Masuk istana keluarga.
Aku makin merasakan siksa dari tema tentang “haus dan lapar”. Aku segera masuk. Aku segera membereskan keadaan yang masih berbau dunia perkuliahan. Segera aku menjalani bekal diri untuk menyambut peristirahatanku. Agar dunia impian nampak indah.
Kini aku semakin merasakan tak kuat dalam kesadaran. Aku rebahkan tubuhku. Pelan tapi pasti aku tak sadarkan diri dari kehidupan dunia. Aku pergi ke dalam kehidupan lain. Nampak begitu berbeda. Dan dalam kehidupan baru, aku tetap bisa menjalani perjalanan kehidupan dengan baik karena terbekali makanan dan minuman.
Mau nanya ini pengarang dan penerbitnya siapa ya?
BalasHapusMau nanya ini pengarang dan penerbitnya siapa ya?
BalasHapus