Senin, 14 November 2016

PUISI ALAM



Keindahan Alam Indonesia
Saat aku membuka mataku,
ku tak percaya bahwa itu nyata
Aku masih berfikir, bahwa aku masih bermimpi
Tetapi aku sadar bahwa keindahan itu benar-benar ada di depanku
Sungguh indah kepulauan ini
Ribuan pulau-pulau berjajar membentuk gugusan pulau yang indah
Gunung-gunung berbaris dari ujung barat ke ujung timur
Samudra luas membentang dengan air yang biru
dan berisi keindahan di bawahnya
Aku bangga menjadi anak Indonesia
Aku berjanji aku akan menjagamu
Indahnya Alam Negri Ini
Kicauan burung terdengar merdu
Menandakan adanya hari yang baru
Indahnya alam ini membuatku terpaku
Seperti dunia hanya untuk diriku
Ku pejamkan mataku sejenak
Ku rentangkan tanganku sejenak
Sejuk, Tenang, senang kurasakan
Membuatku seperti melayang kegirangan
Wahai pencipta alam
Kekagumanku sulit untuk ku pendam
Dari siang hingga malam
Pesonanya tak pernah padam
Desiran angin yang berirama di pegunungan
Tumbuhan yang menari-nari di pegunungan
Begitu indah rasanya
Bak indahnya taman di surga
Keindahan alam terasa sempurna
Membuat semua orang terpana
Membuat semua orang terkesima
Tetapi, Kita harus menjaganya
Agar keindahanya takkan pernah Sima.
Puisi dari (Ronny Maharianto)
Sabda Bumi
Belum tampak mendung merenung bumi
Seberkas haru larut terbalut kalut dan takut
Terpaku ratap menatap Jiwa-jiwa penuh rindu
Hangatkan dahaga raga yang sendu merayu
Bulan tak ingin membawa tertawa manja
Kala waktu enggan berkawan pada hari
Saat bintang bersembunyi sunyi sendiri
Terhapus awan gelap melahap habis langit
Bulan memudar cantik menarik pada jiwa ini
Hitam memang menang menyerang terang
Tetapi mekar fajar bersama mentari akan menari
Bersama untaian senandung salam alam pagi.
(Puisi Tanpa Nama)

Alam Di Lembah Semesta
Angin dingin kelam berderik
Kabut putih menghapus mentari
Tegak cahayanya menusuk citra
Pahatan gunung memecah langit
Berselimut awan beralas zambrud
Tinggi dan tajam
Sejak waktu tidak beranjak
Di sanalah snubari berdetak
Sunyi sepi tak beriak
Cermin ilusi di atas danau
Menikung pohon yang melambai warna
Di Selah Kaki-kaki mengejek Karya-karyanya
Di manakah aku berada…?
Di mana jiwa tak mengingat rumah
Di saat hidup serasa sempurna
Sungguh jelita permadani ini
Tebarkan pesona di atas cakrawala
Tak berujung di pandang lamanya
Serasa bertualang di negeri tak bertuan
Puisi dari (Ardian H)
Permainya Desaku
Padi mulai menguning
Mentari menyambut datangya pagi
Ayam berkokok bersahutan
Petani bersiap hendak kesawah
Padi yang hijau
Siap untuk di panen
Petani bersukaria
Beramai-ramai memotong padi
Gemercik air sungai
Begitu beningnya
Bagaikan zamrud Khatulistiwa
Itulah alam desaku yang permai.
(Puisi Tampa Nama)
Bencana Melandaku
Lewat suara gemuruh di iringi debu bangunan yang runtuh
Tempatku nan asli terlindas habis
Rumah dan harta benda serta nyawa manusia lenyap
Kau Lalap habis aku kehilangan segalanya
Mata dunia Terpengarah menatap heran
Memang kejadian begitu dasyat
Bantuan dan pertolongan mengalir
Hati manusia punya Nurani
Tuhan… Mengapa semua ini terjadi..!
Mungkin kami telah banyak Mengingkari mu
Mungkin kami terlalu bangga dengan salah dan Dosa-dosa
Ya… Tuhan ampunilah kami dalam segala dosa.
(Puisi Tampa Nama)

Share:

BALITA BERTUNANG



Cerpen: Balita Bertunangan
Cerpen : Balita Bertunangan
Terlihat dua balita sedang senda-gurau di halaman depan rumah dengan ditemani orang tuanya. Mereka berdua berjumpa saat berlibur bersama keluarga di pantai dua bulan yang lalu. Lalu, mereka saling kenal. Mereka itu adalah Abi dan Anisa. Mereka menikmati hari libur. Orang tua Anisa pun sepertinya merelakan bila mereka berduaan. Lagi pula, Anisa sempat sakit bila tak dipertemukan dengan Abi.
“Assalamu’alaikum, Nisa. Main yuuuuk?” teman Anisa, Laras, mengajak bermain.
“Yuk, Niiis,” Pinta satu temannya lagi, Nabila.
“Gak, aaah. Lagi main, sama Abi. Aku gak mauuu, pisah sama Abi.”
“Ih, kok gitu sih,” kata Laras dengan nada kecewa.
“Ya udah. Abi, ikut main aja ya...,” Nabila memberi solusi.
“Gak ah, aku juga pengin sama Anisa aja,” Abi mendukung Anisa.
Raut muka Laras dan Nabila menunjukkan kekecewaan. Tapi rasa kecewa anak kecil yang baru berumur tiga tahunan tak seperti rasa kecewa anak remaja atau orang dewasa. Mereka berdua tetap tunjukkan sebuah sikap lugu--tak mengerti kalau Abi dan Anisa sedang jatuh cinta.
“Maaf ya Nak, hari ini kalian main berdua saja. Biar Abi dan Anisa bermain sama Tante dan Om.”
“Nanti lagi ya?”
“Baik Tante, Om,” Laras menyetujuinya.
Lantas mereka pergi dan tak memikirkan sesuatu yang telah terjadi.
Abi dan Anisa pun berlanjut kembali dalam senda-guraunya. Mereka berdua bahagia bila hari-harinya selalu dalam jumpa. Mereka asik bermain tanpa ikut campur teman yang lain. keegoisan anak kecil pun sangat tampak sekali. Mereka tak memperdulikan kehadiran kawan. Bagi mereka, rasa kepedulian hanya untuk yang dicintainya.
“Tante, tunangan itu apa? Aku lupa,” pertanyaan Abi sedikit membebankan hati Ibu Naila.
“Biar kebersamaan kalian disetujui,” Ibu Naila mencoba memberi jawaban.
“Asiiiik.”
***
Ada pertentangan di dalam keluarga Pak Latif.
"Abah, ini aib. Lihat, Bah! Mereka masih anak kecil! Masih balita. Itu menyalahi aturan!”
Anida baru datang ke rumah kemarin, dari Bandung. Sejak mengetahui berita itu, Anida protes melihat adiknya akan tunangan.
“Kamu jangan ngotot bicara sama orang tua,” ibu Fatma menasehati.
“Kau mengerti tidak? Tidak ada batasan untuk menikah! Kau jangan menentang agama! Ini hasilmu kuliah jurusan Filsafat?!” Pak Latif merasa geram atas sikap anaknya.
Rencana pertunangan Abi dengan anak semata wayang Pak Amid, Anisa, berakibat datang suatu konfik di keluarga Pak Latif. Anida marah besar atas sikap orang tua. Anida tidak setuju dengan pertunangan itu. Tapi, orang tua justru menganggap tunangan ini adalah jalan terbaik untuk anak mereka.
Seketika, mereka saling bungkan suara. Ruangan sunyi. Tak ada kobar api. Hanya api di dada yang tertahan. Ruang tengah rumah, yang dijadikan kumpul bersama untuk menghangatkan suasana, kini tak terindahkan lagi.
“Apa kau mau adikmu selalu sakit?” Kau pernah jatuh cinta, bukan? Pak Latif membuka suara.
“Pernah. Tapi Abah melarangku untuk pacaran! Alasannya mendekati zinalah, ganggu belajarlah.”
“Ini masalahnya beda. Adikmu masih kecil. Belum mengerti cinta. Kita pun pasti menjaga bila mereka saling bertemu. Bila adikmu sudah umur lima belas, kami pun menikahkan mereka berdua. Tidak seperti kau yang sudah mengerti cinta nafsu!”
“Apa? Sekecil itu mereka menikah?!”
“Lagi pula, Ibu sudah bersumpah, bila nanti Abi sembuh dari sakit, kami akan mengikat tali pertunangan Abi dengan anak gadis itu. Dan bila sudah umur lima belas, kami akan menikahi mereka berdua, kalau mereka masih berhubungan.”
“Apa alasannya sampai bersumpah?! Itu sumpah maksiat!” Anida semakin kecewa.
“Plak. Plak. Plak.”
Ibunya menampar Anida. “Jaga mulutmu!”
Sambil tangis tersedu-sedu, Anida mengomentari perkataan orang tuanya. Ia katakan, kalau orang tuanya telah mendidik dewasa secara berlebihan; mendidik agar menjadi dewasa sebelum waktunya. Pertunangan atau pernikahan pun akan terlihat permainan belaka, karena tidak ada kematangan dari Abi dan Anisa dari segi fisik juga psikis.
“Cukup!” tangan ibunya bersiap menampar.
Tetap saja Anida tak menghiraukan. Ia menjelaskan bahwa beban orang dewasa akan menindih jiwa-raga Abi dan Anisa. Teman-temannya pun akan mengejek karena mereka telah menjadi suami-istri kecil. Kalau pun mereka mendukung, maka teman-temannya akan berniat meniru untuk menjadi pengantin kecil.
“Tunangan saja beban buat mereka!” kata Anida.
Anida pergi ke kamarnya. Hari Minggu berkobar api, tapi tak ada yang memadamkan. Anida menangis sembari meremas-remas bantal penuh kemarahan. Hatinya teriris, sakit, akibat tamparan ibunya. Juga, Anida terbesit rasa cemburu di hatinya.
“Ini tidak adil! Apa maksudnya? Orang pandai agama seenaknya beralasan. Saat dikomentari dakwahnya, malah dianggap menentang!”
“Anida! keluar!” Ayahnya mendengar ucapan Anida, lalu menyuruhnya keluar. Tapi Anida diam saja.
Ketika siang menjelang, tak sepengetahuan orang tuanya, Anida keluar rumah sembari membawa barang-barangnya. Rencana Anida yang ingin berlibur selama seminggu--menikmati minggu tenang dalam perkuliahan-- ia urungkan niatnya. Ia teringat kisah dirinya yang dilarang pacaran sama orang tua di saat Anida dan kekasihnya saling mencintai. Betapa sakit hati yang dirasakan oleh Anida dan kekasihnya itu.
Orang tua panik.
Mana Anida? Ini sudah larut malam?” Pak Latif mencarinya tapi tidak ada.
Saya tak tahu! Saya sudah menghubungi Anida tapi gak diangkat. Saya sudah menghubungi ke semuanya.
“Keterlaluan! Mau dia apa sih?!” Pak Latif marah besar.
Malam hari, hati mereka diselimuti kecemasan. Mereka tak mengetahui kalau Anida telah pergi lagi ke Bandung.
Sedangkan dalam kamar lain, terlihat, Abi juga sedang dalam kecemasan. Apalagi membayang hari esok yang sangat dinantinya. Ia cemas memikirkan Anisa bila malam datang. Memang, Abi dan Anisa tidak diperbolehkan berhubungan di waktu malam. Segala macam pikiran buruk selalu mengganggu malamnya bak remaja atau orang dewasa yang sedang jatuh cinta. Padahal Abi masih belum mengerti bahwa arti semua ini adalah pertanda telah jatuh cinta. Pagi tiba.
“Ummi, sini Ummi! Ya Allaaah, Nak. Ummiii!”
“Ya Abah, ada apa?” Jangan bentak-bentak gitu! Saya mendengarnya.”
“Lihat e-mail. Baca!”
Segera Ibu Fatma membacanya, “Ada seorang pemuda yang sekarang menyukaiku, Ummi, Abah. Awalnya, aku tidak mau menerima tawaran untuk pacaran. Kalau pun aku membangkang perintah sekalipun, tetap tidak mau menerima tawaran dia. Lelaki itu berlainan agama. Ia beragama Kristen. Tapi, sekarang aku menerimanya. Aku ingin mencoba mencintainya. Malam Natal nanti aku akan ikut merayakan acara Natal, sekedar menghormati nabiku, Isa A.S.
“Ya Allah, Anida kau sungguh menyakiti hati orang tua. Kenapa dia jadi begini, Bah?”
Ibu Fatma belum tuntas membacanya. Lalu, Pak Latif menjelaskan tentang alasan anaknya berbuat seperti itu. Anida begitu karena tidak diperlakukan adil oleh orang tuanya. Anida sangat kecewa mendengar rencana pertunangan Abi dan Anisa yang akan dilakukan nanti siang. Dahulu, waktu masih SMA, Anida tak dibolehkan untuk menikmati masa pacaran dengan lelaki yang dicintainya. Orang tua Anida memang terpandang sebagai orang yang dianggap tokoh agama sehingga pantangan untuk anaknya mengikat tali percintaan yang tak resmi. Tapi sekarang, Abi yang baru berumur lima tahun, malah akan diresmikan cintanya dengan pertunangan. Tak pantas anak sekecil itu mengikat tali pertunangan, kata Anida. Tapi, orang tua tak menanggapi. Sehingga Anida nekad melanggar perintah, dan malah lebih parah dari sebelumnya.
“Anida pacaran dengan lelaki beda agama, Abah! Bagaimana ini?”
Pak Latif diam. Ia pun bingung apa yang harus dilakukannya.
“Apa kita batalkan acara pertunangan itu?” Ibu Fatma berubah pikiran.
Pak Latif tetap diam.
Kriiiing. Kriiiing. Kriiiing.
Telepon berbunyi. Segera Ibu Fatma mengangkat teleponnya.
Assalamu’alaikum,” Ibu Fatma menyambut.
“Wa’alaikumusalam. Bu, tadi Anida telepon. Dia mengucapkan selamat atas acara pertunangannya, Bu. Lho, bukannya nanti siang acara tunangan? Terus, kenapa dia pergi lagi ke Bandung? Dia ada kesibukan ya, Bu?” kata istri Pak Amid, Ibu Naila. Ia merasa heran tentang ucapan Anida.
Ibu Fatma hanya menitikkan air mata. Hatinya tersayat akibat berita dari Anida. Ia tak bisa berbicara apa-apa. Berkali-kali Ibu Naila memanggil- manggil, tetapi tidak ada tanggapan sama sekali darinya. Berkali-kali pula ia usapkan air mata.
“Bu Fatma memangis?”
“Maaf, Bu. Saya sangat bahagia sampai tak bisa bicara. Anakku memang ada kesibukan. Maaf ya Bu, nanti siang kita bicarakan.”
Ibu Fatma terpaksa bicara bohong. Ia belum siap bicara yang sebenarnya.
***
Waktu telah memanggil dua keluarga untuk berkumpul. Perayaan tidak terlihat meriah. Hanya keluarga Pak Latif dengan satu anaknya dan keluarga Pak Amid yang memang hanya mempunyai satu anak. Tak tampak hadirnya keluarga lain. Mereka pada dasarnya mengerti, kalau acara tunangan ini suatu hal yang tak etis. Hanya saja ketidaketisan itu dilihat dari kaca mata adat. Acara pertunangan pun sekedar menjalani sumpah Ibu Fatma. Mereka mengetahui, cinta anak kecil tidaklah begitu serius. Hubungan akan berakhir seiring kedewasaan mereka.
Hari Senin yang merupakan hari kerja untuk kedua ayah, demi melihat anaknya tunangan, mereka meliburkan diri satu hari. Lagi pula, hari Senin merupakan hari ulang tahun Anisa yang ke empat. Tentunya, acara tunangan lebih dipilih di hari Senin.
Mereka pun bernyanyi tembang selamat ulang tahun. Lalu, lilin pun ditiupkannya oleh Anisa sebagai pertanda selesainya acara ulang tahun. Potong kue dilakukan orang tua Anisa. Anisa pun memberikankan potongan kue itu ke Abi. Ibunya Anisa bahagia, sedangkan ibunya Abi menitikkan air kesedihan. Dua pemandangan yang berbeda melihat tingkah dua balita yang dilanda cinta.
“Bu, silahkan acara tunangan dipimpin keluarga Pak Latif.”
Ibu Fatma menangis tersedu-sedu. Berkali-kali ia usapkan air mata dengan tisu. Ia berusaha menahan tangis walau sebentar saja, sekedar untuk bicara. Pak Latif pun menyetujui.
“Ummi, kenapa menangis?”
“Ummi kamu karena bahagia melihatmu, Nak.”
“Begitu ya Tante?”
Lalu Pak Latif berbicara dengan maksud untuk mengikat hubungan antara Abi dengan Anisa dalam ikatan pertunangan. Pak Latif menjelaskan kalau hubungan ini tidak harus ditanggapi dengan serius, mengingat yang bertunangan adalah dua balita yang belum mengerti tentang dunia percintaan. Hanya saja, pertunangan ini sekedar wujud rasa kasihan saja terhadap kedua balita yang sering sakit-sakitan akibat tidak bisa berjumpa. Dan juga, sekaligus untuk menjalani sumpah Ibu Fatma.
“Mari, Nak. Om mau ngasih cincin.”
“Baik, Om. Tapi, Abi yang masukkin cincinnya ya, Om?”
Lalu Abi memasukkan cincin di jari lentik Anisa. Begitu pula Anisa, ia memasukkan cincin untuk Abi di jari lentiknya. Akhirnya sambutan tepuk tangan serasa memeriahkan suasana.
Sambutan tangisan Ibu Fatma tak kalah dengan tepuk tangan itu. Lantas Ibu Fatma bergegas pergi sambil mengajak Ibu Naila. Mereka menuju ruangan dapur. Kedua anak mereka pun bertanya-tanya, lantas seketika sirna, terbawa hanyut pada rasa bahagia mereka.
Bu, maafin saya yang tadi pagi. Saya sempat berbohong sama Ibu Naila, hik,hik.”
Ada apa, Bu. Ada apa? Kenapa Ibu sangat sedih? Tolong katakan yang sejujurnya.”
Lalu, Ibu Fatma mencoba menjelaskan walau dengan penuh rintihan tangis, deraian air mata. Ibu Fatma menjelaskan konflik yang telah terjadi akibat acara pertunangan ini. Ia menjelaskan tentang anaknya--Anida-- yang tak setuju tentang pertunangan ini. Anida merasa cemburu dan sakit hati akibat acara tunangan adiknya.
“....Dan sekarang dia pacaran dengan lelaki yang berbeda agama!”
“Masa Allah. Yang tabah. Saya ikut prihatin atas masalah ini. Lebih baik kita tidak usah mengistimewakan tentang pertunangan mereka.”
Maafin saya yang telah bersumpah tanpa sepengetahuan Ibu.
“Sudahlah. Bu, nanti bicaralah sama Anida, ya?”

Share:

CERPEN ENGKU BADAR

Engku Badar |
 Cerpen Aida Radar By Jasmin Olivia 15.21 Oleh: Aida Radar Badarudin Mahifa! Nama yang tertera di jadwal mata kuliahku. Pengajar salah satu mata kuliah yang aku programkan pada semester itu. Staf dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, tempat aku menitipkan nama di daftar absensi. Meski namanya Badarudin Mahifa, orang-orang menyapanya Engku Badar. Engku adalah sebutan hormat masyarakat untuk guru laki-laki pada masa itu. Aku tidak punya cukup informasi sampai tahun berapa sebutan Engku digunakan. Badar adalah nama kecilnya. Terkenallah dia Engku Badar. Pertama kali bertatap muka di kelas, ia kutaksir berkepala tujuh. Itu terlihat dari uban yang mengganti rambutnya, keriput-keriput yang bertebaran di wajahnya, langkah kakinya juga sudah sepelan siput. Meski penampilan fisiknya menunjukkan tuanya, jangan kira ia seperti dosen-dosen tua kebanyakan. Kepalanya tak botak seperti teman-teman seprofesinya. Rambut putih lebatnya selalu mengilap. Pelan langkah kakinya, tiada pernah membuatnya lambat melakukan sesuatu, termasuk mengajar di kelas. Wajah keriputnya bercahaya setiap ia menengadahkannya. Aku tahu asal cahaya itu. Cahaya itu efek air yang selalu ia basuhkan pada anggota tubuhnya lima kali sehari. Aku sering menjumpainya di masjid kampus setiap waktu shalat. Setiap bertemu, aku sekadar bertutur sapa. Tiada sedikit keberanianku untuk bercakap banyak. Apalagi sampai berlama-lama mengupas topik. Aku tak pernah berani. Aku sadar. Aku mahasiswanya yang kurang menonjol di kelas. Walau otak tidak jongkok, intinya aku ini tidak menonjol. Karena aku takut tak mampu merespons apa yang disampaikan, cukup dengan sapa saja, aku puas. Tapi, heran, dia hafal namaku. Selalu memanggilku dengan nama lengkap tanpa cacat. “Faiz Abdul Rahman. Sudah shalat?” ia selalu bertanya seperti itu. Ah, bahagianya aku. Walau tidak terlalu aktif di kelas, ia mengenalku, tahu nama lengkapku. Sebagai murid, aku merasa dihargai. Itu artinya ia mengenal semua mahasiswanya. Yang aktivis sampai pasivis kelas berat, semua Engku kenal. Satu lagi yang menurutku menarik darinya: caranya berpakaian. Ia tidak pernah ketinggalan zaman. Selalu modis ditambah cara berpikir yang tidak kuno. “Walau fisik sudah tua, gaya dan cara berpikir harus tetap muda dan sesuai dengan zaman agar kita tidak ketinggalan. Iya toh? Tapi, ikuti perkembangan zaman yang sesuai kepribadian agama dan bangsa. Selain itu, tinggalkan! Lebih banyak mudharatnya.” Demikian ia menjawab pertanyaan seorang teman di kelasku mengenai penampilannya. “Seorang guru adalah panutan. Ia cermin murid-muridnya. Setiap kali murid melihat gurunya, hal pertama yang mereka perhatikan adalah penampilannya. Apakah gurunya berpenampilan baik ataukah awut-awutan? Kesan pertama sesuatu yang sulit dilupakan,” ujar Engku Badar mulai membagi ilmunya. “Meski di kemudian hari mereka lebih mengenali dan mengetahui seberapa hebatnya guru mereka, tetap saja kesan pertama sulit terlupa. Makanya, sebagai calon guru, porsi penampilan harus mendapat perhatian khusus, di samping ilmu yang kalian miliki. Ingat itu baik-baik,” lanjutnya lagi. Dia berhasil! Guruku yang berdiri di depan kelas itu berhasil membuatku terkesan dengan penampilan pertamanya. Waktu berjalan, ia telah menjadi dosen kesayangan teman-temanku dan tentu saja aku. ***** Saban Sabtu, ia mengajar di kelasku. Hari-hari lain ruang kelas sepi. Tapi, tidak hari Sabtu. Mahasiswa-mahasiswa—bahkan baru pertama kulihat wajahnya—siaga di kelas. Seperti Sabtu itu. Seseorang duduk di sampingku hari itu. Sebelumnya, ia menyapaku, lalu memperkenalkan diri. “Hai, apakah tempat ini ada yang punya?” tanya lelaki itu kepadaku. “Oh, tidak ada. Tempat ini selalu kosong. Duduk saja,” jawabku. “Terima kasih. Saya Andi Fauzan. Panggil saja Uja. Mahasiswa konversi semester dua.” “Saya Faiz Abdul Rahman. Panggil Faiz. Mahasiswa kelas ini.” Dari perkenalan itu, aku tahu banyak hal tentang Engku. Ternyata, Uja juga pengagum Engku. Sebenarnya, ia memilih ikut kelasku karena ingin diajar Engku. Sebab, dosennya untuk mata kuliah ini bukan Engku. Jadi, ia tidak ikut kelasnya. Tidak hanya Fauzan yang kukenal di kelas Engku. Sabtu berikutnya, aku berkenalan dengan Doni, mahasiswa satu angkatan di atasku. Sabtu berikutnya lagi, dengan Zulkifli, mahasiswa yang sedang menyusun skripsi. Sabtunya lagi, aku berkenalan dengan orang-orang yang berbeda. Selalu orang yang berbeda seterusnya. Rata-rata, mereka beralasan sama ketika kutanya mengapa ikut kelasku. Dari perkenalan-perkenalan itu, aku mengetahui lebih banyak tentang dosen kesayanganku. “Engku Badar itu dosen yang cerdas. Beliau banyak mendapat penghargaan karena kecerdasannya. Beliau telah mengajar sejak berumur lima belas tahun.” “Menurutku, Engku Badar diciptakan untuk menjadi guru. Terbukti, ia sangat hebat dalam urusan itu.” “Engku Badar itu seorang duda. Istrinya meninggal karena sakit ketika Engku Badar mendapat tugas di luar daerah. Waktu itu, pernikahan mereka baru lima tahun. Mereka tidak memiliki anak. Sepeninggal istrinya, Engku Badar tidak menikah lagi. Ia sangat mencintai istrinya dan merasa bersalah karena tidak menemaninya di saat-saat terakhir. Jadi, sekarang Engku Badar masih tetap sendiri.” Masih banyak lagi yang aku tahu tentang prestasi-prestasinya. Bahkan, kehidupan pribadinya. ***** Sebenarnya, tak terpikirkan olehku kuliah di Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Apalagi menjadi guru. Aku hanya mengikuti kemauan orang tuaku yang menginginkanku menjadi guru seperti mereka. Aku jauh-jauh dari kampung untuk obsesi itu. Obsesi orang tuaku. Karena setengah hati menuntut ilmu di Keguruan, aku kurang suka kuliah selama semester satu dan dua. Aku selalu membayar dan menyelesaikan keperluan administrasi sebelum perkuliahan dimulai. Baik dan tepat waktu. Namun, semua itu kulakukan agar namaku tetap berada di absensi kelasku. Dan, tentu saja guna menyenangkan hati kedua orang tuaku. Itu tentunya sebelum aku menjadi mahasiswa Engku Badar. Setelah aku berguru dan lulus dari mata kuliah Engku—dengan nilai lumayan untuk mahasiswa kurang menonjol sepertiku—menjadi guru telah tertanam dalam jiwa dan ragaku. Meski sudah lulus dari mata kuliahnya, Engku tetap guruku. Bukan karena ia kembali jadi dosen mata kuliah yang kuprogramkan semester berikutnya. Tapi, guru tempatku bertukar pikiran. Di semester itu, aku telah menjadi mahasiswa yang lumayan menonjol. Aku sudah memiliki keberanian dan rasa percaya diri yang tinggi. Ah, ya, satu lagi. Aku sudah rajin kuliah. Aku mulai tertarik menjadi guru sepenuh hati. Semua itu anugerah Yang Kuasa melalui Engku Badar. “Kamu tahu mengapa saya jadi guru, Faiz?” tanya Engku Badar padaku dalam suatu kesempatan usai shalat Zuhur di masjid kampus. “Pasti karena panggilan jiwa, kan, Engku?” jawabku kembali bertanya. “Ya, itu salah satunya. Tapi, ada yang lebih mendorong saya mencintai profesi ini. Kamu tahu apa itu?” Aku menggelengkan kepala. “Umur 15 tahun, saya membaca sebuah buku. Saya sudah lupa judul buku dan pengarangnya. Tapi, saya sangat ingat sepenggal kalimat yang begitu menginspirasi saya. Hmmm.” Ia menarik napas. “Guru adalah pekerjaan yang dimuliakan Allah SWT setelah nabi dan rasul-Nya. Begitu bunyi kalimatnya.” “Guru adalah pekerjaan yang dimuliakan Allah SWT setelah nabi dan rasul-Nya.” Ia kembali mengulangi kalimat itu. “Karena, guru mempunyai tanggung jawab yang besar: memanusiakan manusia. Ia punya tanggung jawab mengubah watak buruk seseorang menjadi baik. Menjadi guru berarti kamu telah mempersiapkan pahala-pahala jariyah yang akan terus mengalir walaupun kamu telah berpulang ke pangkuan-Nya nanti. Maka, Faiz, beruntunglah kamu terpanggil untuk pekerjaan mulia ini.” Ia tersenyum dan menepuk pundakku. Aku meresapi setiap kata yang ia nasihatkan. Dalam hati, kutanamkan kuat kata-kata itu. ***** Sudah seminggu aku tidak bertemu Engku Badar. Di masjid dan tiap-tiap ruang kelas telah kujajaki untuk mencarinya. Aku ingin bertanya sesuatu padanya. Namun, ia tak terdeteksi. Ia menghilang. Aku coba bertanya di ruang jurusan. Nihil. Mereka juga, tidak tahu. Pihak jurusan juga mencarinya. Engku tidak pernah mengajar seminggu belakangan. Aku heran. Apa yang terjadi pada Engku? Tidak biasanya ia tidak mengajar tanpa konfirmasi. Jangankan seminggu, sekali absen dalam satu kelas saja hampir tidak pernah. Untuk menghilangkan rasa penasaranku, aku berencana ke rumahnya sepulang kuliah. Ketika kembali ke kelas untuk mata kuliah selanjutnya, sebuah kabar meremuk redam hatiku. Tubuhku gemetar. “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Telah meninggal duniadosen kita, guru kita, ayah kita,pemberi ilmu bagi kita, Bapak Drs Badarudin Mahifa, MPd atau yang biasa dikenal dengan Engku Badar. Beliau berpulang hari ini di Rumah Sakit Umum dalam keadaan belum sadar dari koma akibat kecelakaan yang menimpanya satu minggu yang lalu. Semoga amal dan kebaikan beliau diterima di sisi Allah SWT. Amin.”Informasi itu disampaikan seseorang,tetangga beliau. Butiran asin bening tak tertahankan lagi. Aku terdiam di tempat. Wajahku pucat. Mata memerah. Semua kenangan bersama Engku tiba-tiba berkelebat dalam memoriku. Semua nasihatnya kembali terngiang. “Ya, Allah, terimalah Engku di sisi-Mu,” lirihku mencoba mengikhlaskannya. Kelas yang awalnya riuh kini hening. Semua tertunduk lesu. Kehilangan. “Pak Faiz, sekarang jadwal mengajar bapak di kelas kami.” Seseorang membuyarkanku dari lamunan masa lalu. Ia adalah Heriansyah. Mahasiswaku di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan pada perguruan tinggi tempat aku mengajar kini. “Oh, terima kasih, Heri. Kamu duluan, ya. Nanti, Bapak menyusul,” kataku. “Iya, Pak.” Ia pun berlalu. Aku mengambil tas dan perlengkapan mengajarku. Dalam hati, aku berjanji untuk memberikan segala pengetahuan yang kumiliki pada mahasiswa-mahasiswaku. Seperti yang Engku Badar ajarkan padaku ketika aku masih berstatus mahasiswa dulu. Aku berjalan menuju kelas Heriansyah. Sewaktu melewati sebuah kelas, sebelum ruang kelas mengajarku, aku mendengar seseorang berbicara di kelas itu. Tiba-tiba, langkahku terhenti mendengar apa yang orang itu bicarakan. “Guru adalah pekerjaan yang dimuliakan Allah SWT setelah nabi dan rasul-Nya. Begitu bunyi kalimat dalam buku tersebut. Guru adalah pekerjaan yang dimuliakan Allah SWT setelah nabi dan rasul-Nya.” Aku tercekat. Kata-kata itu? “Engku Badar.” (*) 

Sumber: https://contohpantunpuisicerpen.blogspot.co.id/2016/11/engku-badar-cerpen-aida-radar.html
Share:

PUISI TAUFIK ISMAIL



Puisi Taufik Ismail
TAUFIK ISMAIL,nama tersebut sudah tidak asing lagi bagi para pecinta puisi di tanah air. Goresan tinta yang ditorehkan begitu terkenal terutama yang menyiratkan tentang potret peristiwa sejarah. Namun demikian, secara pribadi aku tidak terlalu menyukai puisi-puisi jaman dulu, sajak yang ditulis terkesan seperti cerita.
http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRWUBxaZt1a2QsiAsrLZcXQC6d4tiY5CaNROoXLHg3vxmKZ-mSc208yW8KUSo, berikut ini beberapa puisi karya Taufik Ismail yang sudah aku pilih biarpun nggak semuanya. Maklum banyak banget karya-karyanya dalam Benteng, Buku tamu museum perjuangan, Prahara budaya, dan Sajak ladang jagung.

DENGAN PUISI AKU
(Taufiq ismail)
Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbaur cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Napas jaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya

Sebuah Jaket Berlumur Darah

Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun.

Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’
Berikara setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?.

Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang.

Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
Lanjutkan Perjuangan.

Share:

Naskah pidato menyambut hari kemerdekaan RI



Naskah pidato menyambut hari kemerdekaan RI – Setiap Negara di dunia ini yang pernah atau yang sedang mengalami penjajahan pasti menginginkan negaranya itu merdeka dan terbebas dari penjajahan bangsa lain, seperti kita negara indonesia yang dahulunya di jajah selama ratusan tahun juga menginginkan kemerdekan.
Dan saat ini negara kita telah merdeka dari jajahan negara lain, kemerdekaan yang di dapatkan secara tidak mudah telah banyak darah bercucuran para pahlawan yang gugur untuk mempertahankan negara ini. Tiga ratus lima puluh tahun sudah negeri ini di jajah, begitu banyak penderitaan yang rakyat Indonesia rasakan.
Dalam kesempatan kali ini saya akan memberikan contoh pidato sambutan hari kemerdekaan indonesia yang ke 71, yang sumbernya kami ambil dari beberapa situs di internet. Semoga bisa menjadi referensi anda.
Kumpulan pidato hari kemerdekaan indonesia ke 71 tahun
Assalamu’alaikum Waromatullohi Wabarakatuh
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air !
Pada hari yang cerah kita semua bangsa Indonesia memperingati salah satu hari besar Nasional, yaitu Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke-…..
Untuk itulah sangatlah patut kita semua memanjatkan rasa syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat yang telah diberikan kita semua bangsa Indonesia yang berupa kemerdekaan dari cengkeraman bangsa penjajah selama 350 tahun atau tiga setengah abad.
Dalam memperingati HUT Proklamasi yang ke-….. ini maka berarti kita telah menikmati kebebasan dan kemerdekaan selama …. tahun.
Dilihat dari segi perjuangan negara kita sejak zaman purbakala, masa…. tahun sungguh tidak berarti dan hanya merupakan selintas dalam perjalanan sejarah, tapi apabila hal ini ditinjau dari segi perkembangan generasi, maka… tahun adlah suatu masa dimana kita telah mengingat dewasa sebagai manusia yang merdeka dan bernegara.
Kita tentu masih sama ingat, bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 tepat pukul 10.00 kemerdekaan RI di proklamasikan dan dikumandangkan keseluruh penjuru dunia dari gedung pegangsaan Timur di Jakarta. Para proklamator yang ketika itu mengumumkan naskah proklamasi adalah Bung Karno sebagai pembaca dan sebagai penanda tanganan naskah Proklamasi ialah Soekarno – Hatta yang bertindak atas nama bangsa Indonesia.
Engan pernyataan tersebut bangsa kita telah menegaskan kepada dunia hal asasinya ialah : Merdeka, dan dengan itu pula kemerdekaan Nasional telah dicapai. Adalah jelas bahwa kemerdekaan itu sekali-kali bukan hadiah yang kita peroleh begitu saja, tetapi hasil dari suatu perjuangan yang tak kenal lelah dan tak kenal menyerah dari bangsa kita dimulai dengan pertempuaran-pertempuran oleh para pahlawan-pahlawan kita yang telah mendahuluinya, dan kemudian dilanjutkan dengan perjuangan melalui forum politik sampai pada akhirnya tercetuslah perjuangan fisik setelah proklamasi Kemerdekaan dicanangkan.
Kini … tahun telah lewat, liku-liku perjuangan kita lalui, dan sampailah kita pada saat pembangunan, baik pembangunan material maupun pembangunan di bidang sepritual. Adalah menjadi kewajiban dan tanggung jawab kita bersama untuk tetap menjalankan api semangat perjuangan kita berjiwa 45, ialah semangat 45 yang menggebu-gebu. Semangat yang mendorong kita untuk berkorban demi kemerdekaan dan pembangunan negara sebagai usaha mengisi dan mewarnai kemerdekaan kita. Kemakmuran tidak mungkin akan tercapai apabila kita tidak memperjuangkannya dengan semangat yang gigih dan tak kunjung padam.
Tidak boleh kita lupakan bahwa kemerdekaan itu adalah karena rahmat dan nikmat yang diberikan oleh Alloh semata kepada segenap bangsa Indonesia. Tanpa nikmat dan rahmat dari Alloh, mustahil kemerdekaan kita akan tercapai. Oleh karena itu kita sebagai warga negara Indonesia yang telah diwarisi oleh para pejuang yang telah mendahului kita hendaknya diisi dengan semangat membangun, semangat bekerja demi terciptanya suatu negara yang adil dan makmur di bawah naungan UUD 45 dan Pancasila.
Akhirnya marilah kita sambut HUT kemerdekaan kita yang ke-…… ini dengan penuh kegembiraan dan dengan semangat yang menyala-nyala.
Sekian yang bisa saya sampaikan, terimakasih atas perhatiannya semoga Alloh melimpahkan rahmatnya kepada seluruh bangsa Indonesia. Amiiin ya Rabbal ‘aalamin.
Wassalamu’alaikum Waromatullohi Wabarakatuh

Share:

VIEWERS

Text Widget

Recent Posts

BTemplates.com

Blog Archive